Thursday, 26 January 2012

Seni Yang Berbahaya !

KERAKSASAAN Turbine Hall di Londons Tate Modern, yang - senyatanya - memang bekas gedung pembangkit listrik, selalu menjadi tantangan tersendiri bagi seniman. Keak-barannya bisa mengerdilkan semua imajinasi, kecuali bagi "suku" seniman modern tertentu yang memahami misteri skala. Dulu, laba-laba raksasa"-nya Louise Bour-geois sempat menyerami selasar ini. Marsyas-nya Anish Kapoor pun, sebuah rongga besar yang menyerupai terompet dan terbuat dari bentangan balian kulit, pernah mengangkangi kemegahan gedung mahabesar itu.
Oktober 2010 silam, seniman Cina, Ai Weiwei, menutupi lantai di sana dengan Sun-flower Seeds-nya -100 juta keping pernik-pernik porselen kecil, masing-masing buatan tangan seorang perajin, tanpa ada satu pun yang serupa. Seni instalasi itu seolah menjadi karpet hidup yang beraneka ragam, tak terje-laskan. Sebagaimana makna utama kaum surealis, Ai Weiwei merefleksikan "benih-benih" itu sebagai jalan yang sarat keanehan. Faktanya, ketika Sunflower Seeds atau "benih-benih bunga matahari" itu diinjak-injak, ia segera remuk, dan berubah menjadi debu-debu halus yang dapat merusak paru-paru. Sebuah keindahan yang sungguh berbahaya. Ini merupakan representasi simbolis dari kehidupan nyata yang memang tidak pernah bebas dari ancaman bahaya. Seni, memang, bisa berbahaya. Akantetapi, seringkali, kemasyhuran karya seni justru menimbulkan bahaya bagi seniman-nya sendiri. Popularitas Ai Weiwei sebagai, seorang seniman (ia adalah konsultan desain "sarang burung" Stadion Olimpiade Beijing, dan baru-baru ini menduduki peringkat ke-13 dari 100 tokoh seni paling berpengaruh versi majalah Art Review), bertolak dari visinya untuk selalu mengangkat isu seputar hak asasi manusia, dan mengkritisi "budaya teledor" pemerintah Cina terhadap bencana.
Ia, misalnya, mengusung masalah penderitaan para anak korban gempa bumi di Provinsi Sichuan 2008, dan mereka yang menderita akibat kebakaran maut sebuah apartemen di Shanghai, November 2010. Lewat karya-karya seninya itu, Ai Weiwei kerap dianggap mempermalukan dan melecehkan pemerintah Cina. Kini, rezim yang berkuasa di sana telah melancarkan seben-ruk "serangan baru" yang lebih berbahaya.
Pada 4 April 2011, Ai Weiwei ditangkap tepat saat ia hendak menaiki pesawat yang akan membawanya ke Hong Kong. Stu-dionya digerebek. Komputer, juga beberapa barang lainnya, dimusnahkan. Lucunya, pemerintah Cina mengumumkan, penangkapan Ai Weiwei itu semata-mata karena "kejahatan" penggelapan pajak dan pornografi. Tuduhan-tuduhan yang terasa sangat tidak masuk akal, terutama bagi orang-orang yang mengenal Ai Weiwei. Tampaknya, kejengkelan pemerintah Cina terhadap popularitas yang mendunia dari karya-karya seni Ai
Weiwei (yang memang selalu sarat ke-"terus-terang"-an), mendorong mereka untuk membungkam sang seniman dengan cara yang sangat tidak artistik.
Aksi brutal itu diperburuk lagi oleh berita yang dirilis pemerintah Cina, bahwa - katanya - Ai Weiwei sudah mulai mau "mengaku". Bagaimanapun, upaya pembebasan Ai Weiwei kini sudah menjadi persoalan yang sangat mendesak. Dan, setiap pemerintah dari "dunia bebas" sama-sama memiliki tugas yang jelas dalam hal ini.
Ai Weiwei bukanlah satu-satunya seniman Cina yang tengah berada dalam kesulitan. Penulis besar Ljao Yhvu pun telah dicekal, sehingga gagal berangkat ke Amerika Serikat (AS) untuk menghadiri PEN World Voices Festival of International Literature, yang dibuka di New York, Senin, 25 April 2011. Pencekalan itu menimbulkan kekhawatiran, bahwa Liao Yiwu memang sudah menjadi "target" berikutnya setelah Ai Weiwei. Kemudian, Maret kemarin, Ye Du, Teng Biao, dan liu Xianbin dijatuhi hukuman penjara, karena dianggap melakukan berbagai hasutan subversif-sama dengan tuduhan yang dilontarkan terhadap peraih Hadiah Nobel Perdamaian, liu Xiaobo, yang kini harus menjalani masa hukuman penjara selama 11 tahun.
Pada dasarnya, kehidupan para seniman itu memang (jauh) lebih "rapuh" ketimbang karya-karyanya. Kaisar Augustus mengasingkan penyair Ovid ke Tomis, sebuah lubang neraka kecil" di Laut Hitam. Akantetapi, usia dari puisi-puisi Ovid terbukti bisa bertahan lebih lama daripada Kekaisaran Romawi Lalu, Osip Mandelstam meninggal di sebuah kamp kerja paksa rezim Stalin. Namun, puisi-puisinya mampu hidup lebih lama ketimbang negara Uni Soviet. Dan, Federico Garcia Lorca dibunuh para preman suruhan penguasa Spanyol, Generalisimo Francisco Franco. Akan tetapi, puisi-puisi Lorca tetap bertahan, melebihi era dari rezim tiran tersebut.
Tidak semua penulis atau seniman memiliki kecakapan untuk melakukan peran publik, serta bersedia mengambil risiko dihina dan dicemooh, sekali pun berada di lingkungan masyarakat yang bebas. Di antara yang "sedikit" itu, tersebutlah Susan Sontag, seorang komentator vokal pada masa konflik Bosnia. Ia sampai terkikik sendiri, karena ko-mentar-komentarnya kerap terdengar seperti "pemilik" dari Sarajevo. Sebaliknya, visibili-tas Gunter Grass sebagai seorang intelektual publik dan momok bagi penguasa Jerman, terpuruk di pangkat schadenfreude ketika-di akhir Perang Dunia II-terungkap bahwa ia sempat mengikuti wajib militer di Waffen-SS. Dan, persahabatan Gabriel Garda Marquez dengan Fidel Castro, juga keakraban Graham Greene dengan tokoh Panama, Omar Torrijos, telah membuat mereka menjadi target politik.
Memang, di "dunia bebas", para seniman cenderung selalu berhitung untuk terlibat aktif dalam urusan politik, karena itu akanberisiko terhadap reputasi dan integritasnya. Anehnya, di luar "dunia bebas", di mana kritik terhadap kekuasaan berada pada titik paling sulit (bahkan hampir-hampir mustahil), justru bermunculan tokoh-tokoh kreatif seperti Ai Weiwei dan rekan-rekannya, yang berani berbicara "benar" untuk melawan kebohongan para tiran. Dulu, kita membutuhkan "penutur fakta" samizdat untuk membongkar kebobrokan Uni Soviet. Kini, pemerintah Cina telah menjadi ancaman terbesar dunia dalam penegakan "kebebasan berbicara", dan karena itulah kita membutuhkan Ai Weiwei, Liao Yiwu, dan Liu Xi-aobo....
YUKIE H. RUSHDIE,kolumnis dan esais.hemmmmmmm...saya cuma cop past...

No comments:

Post a Comment